Disuatu hari libur kunyalakan laptopku dan kuarahkan kursor ke
folder “movies”ku. Setelah mencerna beberapa folder dengan judul yang
berbeda, akhirnya tertuju pada satu folder yang bertuliskan “Gifted
Hands – The Dr Ben Carson’s Story”.

Suatu hari seorang ibu berkulit hitam sedang menyiapkan sebuah makanan di dapurnya dan ditemani seorang anak lelaki duduk dimeja makan yang terlihat serius dengan buku dihadapannya. Tak lama sang anak bertanya, “Ibu, bisakah kau membantuku tulisan apa ini?”. Sang ibu menjawab “Oh nak, sepertinya ibu membutuhkan kacamata, tak bisakah kau membacanya sendiri?”. Melihat anaknya seperti kesulitan dalam melihat bukunya sang ibu bertanya, “Nak bisakah kau membaca tulisan di lemari itu?” sambil menunjuk dengan jarinya ke sebuah kotak oatmeal dilemari yang berjarak 3 meter dihadapan mereka. Sang anak menggeleng. “Oh sepertinya kamu membutuhkan sebuah kacamata”.
Dihari minggu, sang anak mengajak ibunya melakukan ibadah di gereja seperti biasa. Tapi sang ibu menolak dan menyuruh kedua anak lelakinya pergi tanpanya. Sepeninggal kedua anaknya, sang ibu pergi kesebuah rumah sakit psikologi dan menemui seorang psikiater. “Saya besar di sebuah panti asuhan, suami saya Pak Carson adalah tiket keluar bagi saya yang pada waktu itu usia saya baru 13 tahun. Kami hidup bahagia dengan dua orang anak lelaki yang tampan. Sampai suatu ketika hati saya terasa hancur saat mendengar suami saya mempunyai istri dan anak lain, tapi saya tetap bertahan demi anak-anak. Dan sekarang saya dan suami saya telah berpisah, karena dia terlibat dengan narkoba jadi saya harus membawa anak-anak saya pergi. Saya mendapatkan rumah dari perceraian ini. Tapi saya memutuskan untuk mengontrakkan rumah tersebut untuk menambah pendapatan. Sekarang saya tinggal disebuah kontrakan dan membiayai hidup saya dan kedua anak saya yang masih disekolah dasar dengan bekerja sebagai pembersih rumah dan pengurus bayi. Ada satu hal yang tidak ada seorangpun yang tau, saya adalah orang yang bodoh, bahkan saya tidak dapat membaca. Saya menyembunyikannya dari kedua anak saya Bennie dan Curtis, saya takut mereka akan seperti saya, tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi belakangan ini saya tidak bisa menahannya, saya bahkan berusaha untuk bunuh diri.” “Nyonya Curson, sepertinya Anda perlu berobat disini untuk mengatasinya,” kata sang dokter. “Maaf, tapi saya tidak punya uang untuk itu,” jawabnya. “Jangan pikirkan tentang uang, kami akan mencarikanmu uang.”
Benjamin dan Curtis terlihat serius dengan acara televisi di hadapannya. Sementara ibunya terbayang dengan kejadian beberapa hari yang lalu dimana dia dipanggil disekolah Benjamin karena dia telah memukul teman sekelasnya dan dia adalah salah satu murid yang selalu mendapat nilai buruk disekolahnya. “Anak-anak, ibu akan pergi selama seminggu, kalian akan tinggal bersama suster Scott. Dan bisakah kalian membantu ibu? Selama ibu pergi kalian harus menghafalkan perkalian”.
Hari-hari berlalu, sepulang sekolah Benjamin terlihat sangat bahagia. Kebahagiaannya bertambah ketika melihat sang ibu sudah berada dirumah kembali. “Oh Ibu, aku sangat merindukanmu, lihatlah bu, aku mendapatkan 24 dari 25 soal itu, aku dapat nilai A.” Teriak Ben sambil tersenyum lebar.
Sang ibu mendapat pekerjaan membersihkan rumah seorang professor. Dia sangat kagum dengan rumah professor tersebut, ruangannya terdapat banyak sekali buku. “Professor Burket, apakah semua buku ini telah anda baca?” Tanya sang ibu. “Ya, sebagian besar Nyonya Curson.” Jawabnya. Sepulang bekerja, sang ibu mendapati kedua putranya sedang asyik menonton televisi. Tiba-tiba dengan wajah emosi sang ibu mematikan televisi dan membuat peraturan baru kepada dua putranya. “Kalian hanya boleh menonton 2 program pilihan perminggu. Dan untuk mengisi waktu kosong kalian, kalian harus pergi keperpustakaan dan membaca 2 buku perminggu dan memberikan laporan tertulis kepada saya tentang buku yang telah kalian baca!”
Semenjak itu Ben dan Curtis mulai terbiasa dengan buku, program televisi yang selalu mereka saksikan adalah program kuis tentang pengetahuan dan mereka selalu aktif dalam menjawab setiap pertanyaan dalam acara tersebut. Sampai akhirnya Ben selalu mendapat nilai tertinggi dikelas. Bahkan Ben pernah mendapat perlakuan moral yang kurang pantas dari seorang guru yang tidak menyukainya pada saat Ben mendapat penghargaan sebagai murid kelas 8 terbaik disekolahnya. Karena kejadian tersebut, sang ibu menghitung semua tabungannya dan membawa kedua putranya kerumah mereka yang dulu dan memindahkan Ben di sekolah yang baru dengan harapan mendapat perlakuan yang lebih baik dari sekolah sebelumnya. Tapi sayang, disekolah barunya Ben mendapat teman yang kurang baik, dia terpengaruh dengan pergaulan yang salah. Dia dicemooh karena gaya pakaiannya yang terlalu kuno dan kebiasaannya mendengarkan musik klasik. Karena itu dia mencoba meninggalkan baju kuno dan musik klasiknya. Dia selalu membangkan ibunya dan bahkan pernah nyaris memukul ibunya. Sampai suatu hari sang ibu dipanggil pihak sekolah karena Ben hampir membunuh seorang temannya. Itulah salah satu kelemahan Ben, tidak dapat mengendalikan emosinya.
Dari kejadian itu Ben mulai sadar dan mencoba kembali fokus terhadap pendidikannya. Lewat beberapa tahun dia mendapat beasiswa di Yale University. Dia bertemu dengan seorang wanita berkulit hitam yang menjadi motivasinya dalam belajar. Setelah mendapat gelar psikologi di Yale University, dia melanjutkan Medical School di Michigan. Disana dia mendapatkan sebuah cita-cita ingin menjadi seorang dokter ahli bedah otak. Setelah lulus, Ben magang di salah satu rumah sakit John Hopkins yang pada waktu itu hanya menerima 2 dokter tiap tahunnya dengan banyak pesaing dalam residensi bedah syaraf. “Saya mempunyai nilai yang bagus dan rekomendasi yang sangat baik. John Hopkins adalah pilihan pertama saya, dan hanya itu pilihan saya. Dan saya memutuskan untuk menjadi dokter otak karena menurut saya otak adalah sebuah keajaiban.” Ungkap Ben dalam tes wawancaranya.
Selama magang di John Hopkins, Benjamin atau yang biasa dipanggil Dr Carson, dikenal sebagai orang yang ramah dan semangat dalam menjalani hari-harinya. Pada awalnya dia dianggap remeh oleh para dokter. Suatu hari ada suatu pasien yang harus segera dioperasi. Namun pada waktu itu semua dokter sedang menghadiri sebuah konferensi dan terpaksa situasi, Dr Carson harus menanganinya. Berkat doa dan keberaniannya, dengan segala konsekwensi dan tanpa persetujuan serta pengawasan dokter ahli, Ben dapat menangani pasien tersebut dengan baik. Di usia 32 Dr Carson menjadi direktur rumah sakit Bedah Saraf Pediatrik.
Pada tahun 1987, Dr Carson membuat sejarah medis operasi untuk memisahkan kembar siam, yang lahir dengan kepala bagian belakang menyatu. Operasi pemisahan kembar siam seperti ini selalu gagal, mengakibatkan kematian salah satu atau kedua bayi. Carson setuju untuk melakukan operasi. Sebuah tim terdiri atas 70 ahli bedah, dipimpin oleh Dr Carson, bekerja selama 22 jam, berhasil memisahkan bayi kembar siam tersebut. Pada akhirnya, sekarang si kembar dapat bertahan hidup secara mandiri.
Selain praktek medis, Dr Carson adalah sebagai pembicara, dan mencurahkan banyak waktunya untuk bertemu dengan kelompok-kelompok muda. Pada tahun 2008, Benjamin Carson menerima penghargaan Presidential Medal of Freedom, penghargaan sipil tertinggi bangsa Amerika.
“Think Big” menurut Dr Carson, terdiri dari 8 kunci sukses yang diurai dari delapan huruf (T-H-I-N-K-B-I-G) yaitu:

Suatu hari seorang ibu berkulit hitam sedang menyiapkan sebuah makanan di dapurnya dan ditemani seorang anak lelaki duduk dimeja makan yang terlihat serius dengan buku dihadapannya. Tak lama sang anak bertanya, “Ibu, bisakah kau membantuku tulisan apa ini?”. Sang ibu menjawab “Oh nak, sepertinya ibu membutuhkan kacamata, tak bisakah kau membacanya sendiri?”. Melihat anaknya seperti kesulitan dalam melihat bukunya sang ibu bertanya, “Nak bisakah kau membaca tulisan di lemari itu?” sambil menunjuk dengan jarinya ke sebuah kotak oatmeal dilemari yang berjarak 3 meter dihadapan mereka. Sang anak menggeleng. “Oh sepertinya kamu membutuhkan sebuah kacamata”.
Dihari minggu, sang anak mengajak ibunya melakukan ibadah di gereja seperti biasa. Tapi sang ibu menolak dan menyuruh kedua anak lelakinya pergi tanpanya. Sepeninggal kedua anaknya, sang ibu pergi kesebuah rumah sakit psikologi dan menemui seorang psikiater. “Saya besar di sebuah panti asuhan, suami saya Pak Carson adalah tiket keluar bagi saya yang pada waktu itu usia saya baru 13 tahun. Kami hidup bahagia dengan dua orang anak lelaki yang tampan. Sampai suatu ketika hati saya terasa hancur saat mendengar suami saya mempunyai istri dan anak lain, tapi saya tetap bertahan demi anak-anak. Dan sekarang saya dan suami saya telah berpisah, karena dia terlibat dengan narkoba jadi saya harus membawa anak-anak saya pergi. Saya mendapatkan rumah dari perceraian ini. Tapi saya memutuskan untuk mengontrakkan rumah tersebut untuk menambah pendapatan. Sekarang saya tinggal disebuah kontrakan dan membiayai hidup saya dan kedua anak saya yang masih disekolah dasar dengan bekerja sebagai pembersih rumah dan pengurus bayi. Ada satu hal yang tidak ada seorangpun yang tau, saya adalah orang yang bodoh, bahkan saya tidak dapat membaca. Saya menyembunyikannya dari kedua anak saya Bennie dan Curtis, saya takut mereka akan seperti saya, tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi belakangan ini saya tidak bisa menahannya, saya bahkan berusaha untuk bunuh diri.” “Nyonya Curson, sepertinya Anda perlu berobat disini untuk mengatasinya,” kata sang dokter. “Maaf, tapi saya tidak punya uang untuk itu,” jawabnya. “Jangan pikirkan tentang uang, kami akan mencarikanmu uang.”
Benjamin dan Curtis terlihat serius dengan acara televisi di hadapannya. Sementara ibunya terbayang dengan kejadian beberapa hari yang lalu dimana dia dipanggil disekolah Benjamin karena dia telah memukul teman sekelasnya dan dia adalah salah satu murid yang selalu mendapat nilai buruk disekolahnya. “Anak-anak, ibu akan pergi selama seminggu, kalian akan tinggal bersama suster Scott. Dan bisakah kalian membantu ibu? Selama ibu pergi kalian harus menghafalkan perkalian”.
Hari-hari berlalu, sepulang sekolah Benjamin terlihat sangat bahagia. Kebahagiaannya bertambah ketika melihat sang ibu sudah berada dirumah kembali. “Oh Ibu, aku sangat merindukanmu, lihatlah bu, aku mendapatkan 24 dari 25 soal itu, aku dapat nilai A.” Teriak Ben sambil tersenyum lebar.
Sang ibu mendapat pekerjaan membersihkan rumah seorang professor. Dia sangat kagum dengan rumah professor tersebut, ruangannya terdapat banyak sekali buku. “Professor Burket, apakah semua buku ini telah anda baca?” Tanya sang ibu. “Ya, sebagian besar Nyonya Curson.” Jawabnya. Sepulang bekerja, sang ibu mendapati kedua putranya sedang asyik menonton televisi. Tiba-tiba dengan wajah emosi sang ibu mematikan televisi dan membuat peraturan baru kepada dua putranya. “Kalian hanya boleh menonton 2 program pilihan perminggu. Dan untuk mengisi waktu kosong kalian, kalian harus pergi keperpustakaan dan membaca 2 buku perminggu dan memberikan laporan tertulis kepada saya tentang buku yang telah kalian baca!”
Semenjak itu Ben dan Curtis mulai terbiasa dengan buku, program televisi yang selalu mereka saksikan adalah program kuis tentang pengetahuan dan mereka selalu aktif dalam menjawab setiap pertanyaan dalam acara tersebut. Sampai akhirnya Ben selalu mendapat nilai tertinggi dikelas. Bahkan Ben pernah mendapat perlakuan moral yang kurang pantas dari seorang guru yang tidak menyukainya pada saat Ben mendapat penghargaan sebagai murid kelas 8 terbaik disekolahnya. Karena kejadian tersebut, sang ibu menghitung semua tabungannya dan membawa kedua putranya kerumah mereka yang dulu dan memindahkan Ben di sekolah yang baru dengan harapan mendapat perlakuan yang lebih baik dari sekolah sebelumnya. Tapi sayang, disekolah barunya Ben mendapat teman yang kurang baik, dia terpengaruh dengan pergaulan yang salah. Dia dicemooh karena gaya pakaiannya yang terlalu kuno dan kebiasaannya mendengarkan musik klasik. Karena itu dia mencoba meninggalkan baju kuno dan musik klasiknya. Dia selalu membangkan ibunya dan bahkan pernah nyaris memukul ibunya. Sampai suatu hari sang ibu dipanggil pihak sekolah karena Ben hampir membunuh seorang temannya. Itulah salah satu kelemahan Ben, tidak dapat mengendalikan emosinya.
Dari kejadian itu Ben mulai sadar dan mencoba kembali fokus terhadap pendidikannya. Lewat beberapa tahun dia mendapat beasiswa di Yale University. Dia bertemu dengan seorang wanita berkulit hitam yang menjadi motivasinya dalam belajar. Setelah mendapat gelar psikologi di Yale University, dia melanjutkan Medical School di Michigan. Disana dia mendapatkan sebuah cita-cita ingin menjadi seorang dokter ahli bedah otak. Setelah lulus, Ben magang di salah satu rumah sakit John Hopkins yang pada waktu itu hanya menerima 2 dokter tiap tahunnya dengan banyak pesaing dalam residensi bedah syaraf. “Saya mempunyai nilai yang bagus dan rekomendasi yang sangat baik. John Hopkins adalah pilihan pertama saya, dan hanya itu pilihan saya. Dan saya memutuskan untuk menjadi dokter otak karena menurut saya otak adalah sebuah keajaiban.” Ungkap Ben dalam tes wawancaranya.
Selama magang di John Hopkins, Benjamin atau yang biasa dipanggil Dr Carson, dikenal sebagai orang yang ramah dan semangat dalam menjalani hari-harinya. Pada awalnya dia dianggap remeh oleh para dokter. Suatu hari ada suatu pasien yang harus segera dioperasi. Namun pada waktu itu semua dokter sedang menghadiri sebuah konferensi dan terpaksa situasi, Dr Carson harus menanganinya. Berkat doa dan keberaniannya, dengan segala konsekwensi dan tanpa persetujuan serta pengawasan dokter ahli, Ben dapat menangani pasien tersebut dengan baik. Di usia 32 Dr Carson menjadi direktur rumah sakit Bedah Saraf Pediatrik.
Pada tahun 1987, Dr Carson membuat sejarah medis operasi untuk memisahkan kembar siam, yang lahir dengan kepala bagian belakang menyatu. Operasi pemisahan kembar siam seperti ini selalu gagal, mengakibatkan kematian salah satu atau kedua bayi. Carson setuju untuk melakukan operasi. Sebuah tim terdiri atas 70 ahli bedah, dipimpin oleh Dr Carson, bekerja selama 22 jam, berhasil memisahkan bayi kembar siam tersebut. Pada akhirnya, sekarang si kembar dapat bertahan hidup secara mandiri.
Selain praktek medis, Dr Carson adalah sebagai pembicara, dan mencurahkan banyak waktunya untuk bertemu dengan kelompok-kelompok muda. Pada tahun 2008, Benjamin Carson menerima penghargaan Presidential Medal of Freedom, penghargaan sipil tertinggi bangsa Amerika.
“Think Big” menurut Dr Carson, terdiri dari 8 kunci sukses yang diurai dari delapan huruf (T-H-I-N-K-B-I-G) yaitu:
- Talent (bakat) atau time (waktu): sadarilah bahwa waktu dan bakat adalah hadiah dari Tuhan. Pencipta kita telah memberkahi kita semua tidak hanya dengan kemampuan untuk bernyanyi, menari atau melempar bola, tapi dengan bakat intelektual. Mulailah berhubungan dengan intelektual Anda dan kembangkan itu, dan pikirkan karir yang yang sesuai sehingga Anda dapat menggunakannya.
- Hope (harapan): berbuatlah untuk hal-hal yang baik dan jujur (honest).
- Insight (wawasan) Hal ini bisa berasal dari orang yang berada di suatu posisi, yang Anda juga ingin berada di sana. Belajarlah dari keberhasilan dan kesalahan mereka.
- Nice: “To be Nice to All people”. Jika Anda baik kepada orang lain, maka sekali mereka mendapatkan jawaban dari dugaan,”mengapa Anda bersikap baik pada, mereka? Maka mereka juga akan baik kepada Anda.
- Knowledge (Pengetahuan): Ini membuat Anda menjadi orang yang lebih berharga. Semakin banyak pengetahuan yang Anda miliki, semakin banyak orang membutuhkan Anda. Ketika orang sangat membutuhkan Anda, mereka siap membayar Anda, sehingga Anda akan sejahtera.
- Book (Buku): Mereka adalah mekanisme untuk memperoleh pengetahuan, sebagai lawan tayangan televisi (yang tidak mendidik).
- In-Depth Learning: Pelajari demi pengetahuan dan pemahaman, bukan demi mengesankan orang atau guna mendapatkan pujian.
- God: Jangan pernah merasa terlalu besar untuk Dia
“There is no such thing as an average human being. If you have a normal brain, you are superior. There’s almost nothing that you can’t do.” (Benyamin Carson)
My Motivation :)